KAMI pernah punya seorang pelayan. Embah Kromo namanya. Atau cukup kami panggil
Embah. Ketika saya masih kecil, embah ini, dalam bayangan saya, sudah cukup tua. Saya
ingat betul sosoknya. Pendek, bungkuk, wajahnya menyungging senyum, bibirnya merah
karena sirih, dan di sudut kanan mulutnya tembakau susur.
”Juadah ketan” dan ”srundeng kelapa” buatannya—hmmm, nyam, nyam—tak ada
tandingannya di seluruh dunia! Juga ”mangut lele” serta ”garang asem” olahannya.
Dialah si Embah yang kami sayangi bak nenek sendiri—mungkin lebih.
Bagi kami, Embah sudah bukan ”pelayan” dalam arti yang lazim. Ia adalah anggota
keluarga. Sebagian dari kami. Karena itu—sebagai anggota keluarga—tidak jarang, ialah
yang memarahi dan menasihati kami. Bukan sebaliknya.
Kebersamaan yang indah ini berlangsung, sampai pada suatu hari, ia minta izin untuk
pulang ke desanya. Tempat kelahirannya ini—di lereng gunung Sumbing—nyaris tak
pernah dijenguknya selama belasan tahun. Ternyata, di situlah Embah mengakhiri
hidupnya. Sampai saat terakhir, ia tak ingin membuat kami repot.
Tatkala mendengar berita kematiannya, kami menangis. Diiringi rasa sakit yang
menghunjam. Dan pedih yang mendalam. Tak dapat kami percaya, bahwa kami tak akan
melihat Embah Kromo lagi.
TAPI apa sih persisnya yang membuat si Embah ini begitu istimewa? Prestasi dan
keterampilan kerjanya memang tidak buruk. Namun sebenarnya juga tidak sangat luar
biasa. Rata-rata saja. Yang membuat kami begitu mencintainya dan menghormatinya,
adalah KESETIAANNYA.
Konon ia mulai bekerja sebagai ”PRT” sejak kakek dan nenek saya mulai berumahtangga.
Waktu itu, Embah pasti masih gadis belia. Ia menyaksikan ketika paman-paman
dan bibi-bibi saya dilahirkan dan mengasuh mereka semua.
Kemudian disaksikannya pula bagaimana para bekas asuhannya itu pada gilirannya juga
beranak-pinak. Embah ikut mengasuh beberapa di antaranya, termasuk saya dan adik
saya.
Jadi ada sekitar lima puluh tahunan lebih ia menjadi bagian dari kehidupan keluarga
kami. Lima puluhan tahun, di mana ia membuktikan dirinya sebagai ”pelayan” yang setia
dan dapat dipercaya. Selama lima puluhan tahun itu ia diuji, dan lulus nyaris tanpa cela.
Ini yang membuat ia istimewa. Amat istimewa. Tak ada duanya.
Karena itu, seandainya Anda bertanya: ”Apa yang membuat seorang ‘pemimpin’ itu
istimewa?”. Jawab saya, tanpa ragu, adalah: ”kesetiaan” dan ”kredibiltas”nya. Lalu bila
Anda, belum puas, bertanya pula: ”Mengapa demikian?”. Maka jawab saya, kembali
tanpa ragu, adalah: sebab ”pemimpin yang baik” seharusnya adalah ”pelayan yang baik”.
Karena itu bila seorang ”pelayan”, lantaran kesetiaan serta kredibilitasnya ia dipuji, maka
di situ pula kualitas kepemimpinan seorang ”pemimpin” itu diuji.
Menurut Anda, ”gelar” atau ”sebutan” apa sih yang paling melegakan, paling
membanggakan, dan paling Anda dambakan, yang Anda harapkan dari Yesus, seselesai
seluruh kerja Anda di dunia?
Kalau saya, wah, alangkah berbahagia dan berbunga-bunganya hati saya, sekiranya
Yesus berkenan memberi sebutan yang sama dengan yang diberikan-Nya, kepada orang
yang dinilai telah mengelola talentanya dengan baik.
Gelar atau sebutan apa itu? Sebenarnya sederhana saja. Yaitu, sebutan ”hamba yang baik
dan setia”. ”Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku yang baik dan setia! Engkau
telah setia dalam perkara kecil, Aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam
perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu!” (Matius 25:21,
23).
”Hamba-Ku yang baik dan setia”! Gelar dan sebutan ini, bila benar-benar keluar dari
mulut Allah, aduhai, Bintang Mahaputera Kelas Utama pun jadi seperti tak ada apaapanya!
Dan yang lebih penting, sebutan tersebut juga menunjuk dengan jelas kualifikasi apa
yang Allah tetapkan Allah bagi seorang ”pemimpin”. Apa itu? ”Pelayan yang baik dan
setia”! ”Terampil dan mampu” memang perlu, siapa bisa menyangkalnya? Tapi karakter,
moral dan integritas pribadi lebih perlu lagi!
PAULUS pun punya keyakinan yang sama. Bila banyak pemimpin, pendeta, dan
penginjil sekarang, rata-rata ingin jadi primadona dan selebritas, kerinduan Paulus sangat
sederhana.
Dengarlah apa yang ia katakan, ”Demikianlah hendaknya orang memandang kami:
sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang
akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata
dapat dipercaya” (1 Korintus 4:1-2).
Wah, berapa gelintir pemimpin atau pendeta atau penginjil sekarang yang masih
demikian? Yang dambaan utamanya adalah menjadi ”hamba yang setia dan dapat
dipercaya” merupakan dambaan utama? Yang ucapan-ucapannya menyatu dengan
dengan tindakan? Yang tak mengalami kepribadian-belah baik sewaktu di mimbar
maupun ketika berada di mana saja?
Beberapa pejabat gereja menumpahkan keluhan mereka, tentang betapa sebagian besar
waktu dan energi mereka habis tersita, untuk mengurusi pendeta-pendeta yang
bermasalah. Dan yang jumlahnya, menurut mereka, kian bertambah.
Mengapa ini? Sebab utamanya, mudah diduga, adalah karena mereka bukan ”hambahamba
yang baik dan setia”. Bukan ”pelayan-pelayan yang dapat dipercaya”, tapi
”pesolek-pesolek” yang jatuh cinta berat pada diri sendiri, atau materialis-materialis yang
rakus dan gila harta. Atau megalomania yang mabuk kuasa. Atau demagog-demagog
yang fasih lidah. Atau apa saja. Tapi jelas, mereka bukan ”pelayan-pelayan” yang baik.
Karena itu, bukan pula ”pemimpin-pemimpin” yang baik.
BEGITU kerap saya menyebut kata ”pelayanan”, tapi saya baru tersentak sadar, bahwa
ternyata saya belum menjelaskan, paling sedikit apa yang saya maksudkan, setiap kali
saya menggunakan kata-kata itu. Perkenankanlah saya ”menebus” kealpaan itu—
sekarang.
Ini perlu, sebab istilah ”pelayanan”, seperti pernah kita bicarakan, di zaman kita
sekarang, telah berkembang menjadi sebuah kata yang manca-makna. Multi-arti.
Istilah ini dipakai mulai dari ”menyerpis mobil’ sampai ke ”menyerpis pejabat”. Di
dalam Alkitab, kata ini juga mengandung aspek, dimensi, dan variasi makna yang
beragam.
Toh bagi saya—di tengah keberagaman itu—nasihat Paulus di bawah ini, merumuskan
dengan jitu, inti atau esensi ”pelayanan” yang paling hakiki. Tulisnya, ”(Hendaklah
kamu) tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya
hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada
dirinya sendiri. Dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya
sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Filipi 2:3-4).
Dari hati seorang ”pelayan” (baca: ”pemimpin”) tulen, terpancar keelokan dan keindahan
sejati dari ”kerendah-hatian”. Sebab ”kerendah-hatian”, saudara, tidak cukup dibuktikan,
sekadar hanya dengan kata-kata yang ”merendah”, namun keluar dari hati yang pongah.
Tak cukup diperlihatkan sekadar hanya dengan kepala yang tunduk atau jalan
terbongkok-bongkok, namun dengan tangan siap menikam. Dan lebih tidak kena lagi,
bila ia coba ditunjukkan dengan sikap bermanis muka.
Bukti paling sahih dari ”kerendah-hatian” adalah ”pelayanan”. Sebab dengan ”melayani”,
kita tidak ”mencari kepentingan sendiri” atau ”popularitas diri yang sia-sia”.
Sebaliknyalah, kita menempatkan ”orang lain” di pusat kepedulian kita.
”Kepentingan” dan ”kebutuhan” orang lain kita rasakan sebagai kepentingan dan
kebutuhan kita sendiri. ”Sesama” menjadi ”lebih utama”. Orang tidak hanya
”memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga”.
DI DUNIA ini sebenarnya kita tidak kekurangan orang yang mau memperhatikan
kepentingan orang lain. Orang-orang yang dengan niat baik ingin menolong orang lain.
Namun demikian, ini tidak otomatis membuat kita surplus ”pelayan”. Sekadar punya niat
baik dan berbuat baik, tidak serta-merta menjadikan yang bersangkutan seorang
”pelayan”.
Mengapa tidak? Untuk menjawabnya perkenankan saya memanfaatkan sebuah bahan
refleksi karya Anthony de Mello. Tentang seekor kera yang resah melihat ikan-ikan
berenang hilir mudik di telaga di depannya. Berulang kali ia berupaya menangkap ikanikan
itu. Tapi hanya seekor yang berhasil ditangkapnya.
Lalu diapakannya ikan tangkapannya itu? Ternyata ia berlelah-lelah begitu rupa, hanya
untuk akhirnya meletakkan ikan itu di atas tanah. ”Apa gerangan yang kau lakukan itu,
kera sahabatku ?”, tanya kura-kura terheran-heran. ”Aku menyelamatkan ikan ini dari
tenggelam! Sayang cuma berhasil satu ekor saja,” jawab si kera.
Kera itu berniat baik. Ia juga berusaha keras berbuat baik, tapi ”baik” dari sudut
pandangnya sendiri. Tapi tidak dari perspektif dan kepentingan si ikan. Tak terlintas di
pikirannya bahwa, berbeda dengan dirinya, justru di airlah ikan bisa hidup dengan
bebasnya.
Banyak ”pemimpin” kita yang benar-benar punya niat baik. Dan yang, saya tahu, telah
bekerja keras mewujudkan niatnya yang baik itu. Tapi karena ia hanya berbuat banyak
”untuk” rakyat, tapi tidak ”bersama” rakyat, ia tidak dapat disebut seorang ”pelayan”
yang baik.
Dan sebab ia bukan seorang ”pelayan” yang baik, jelaslah, sayang beribu kali sayang, ia
bukan seorang ”pemimpin” yang baik. by eka dharma putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar