pasti tidak terlalu meleset, bila saya katakan bahwa Anda kira-kira akan menjawab
begini. Bahwa ”memimpin” itu berarti memberi arah, mengelola, mengorganisir,
mengambil keputusan, mendelegasikan wewenang, membuat perencanaan untuk masa
depan Dan sebagainya.
Seorang ”pemimpin” yang baik memahami dengan jelas, apa yang ingin dan harus ia
capai; mengetahui dengan tepat apa yang mesti ia lakukan untuk mencapainya; dan
memiliki keterampilan untuk mengatur pelaksanaannya.
Salahkah jawaban-jawaban itu? Sudah pasti tidak! Megawati dinilai oleh beberapa
pengamat sebagai kurang memuaskan kinerja kepemimpinannya. Mengapa? Terutama
karena ia gagal memberi arah yang jelas bagi perjalanan bangsa. Tak punya visi yang
jernih. Atau punya, barangkali. Tapi tak mampu menjadikannya sebagai ”visi bersama”
(= common vision) seluruh anak negeri.
Sebaliknya dengan Lee Kuan Yew. Orang boleh saja tidak menyukai ”gaya”nya, yang
kadang-kadang memang terkesan arogan dan kurang diplomatis. Tapi siapa dapat
memungkiri kehebatannya dan keberhasilannya sebagai ”pemimpin”?
Ia menakjubkan dunia, karena suksesnya menata, mengelola dan mengorganisasi
Singapura. Karena kemampuannya dalam menerjemahkan visi menjadi program nyata.
Karena kepiawaiannya mengambil keputusan yang tepat, walau acap kali tidak populer
serta kontroversial.
Dan yang membuat keberhasilan kepemimpinannya tak terbantahkan, adalah hasilnya.
Dari sebuah negara-pulau yang semula cenderung mesum, kumuh, dan rawan karena
dikuasai para gangster, Lee berhasil mengubah Singapura menjadi negara yang paling
aman, paling bersih, paling tertib, dan salah satu yang paling makmur di dunia.
SEKIRANYA saja Anda dapat menemukan seseorang, entahkah ia laki-laki atau
perempuan, yang dalam dirinya mampu memadu dan meramu semua kandungan isi (=
ingredient) kepemimpinan yang saya sebutkan itu, o, jangan ragu-ragu lagi! Pilih ia jadi
presiden! Cuma soalnya, mungkinkah menemukan orang seperti itu? Saya
meragukannya.
Dan yang lebih gawat lagi adalah ini. Yaitu bila menemukan orang yang berkualifikasi
seperti itu saja sudah nyaris mustahil, toh ada yang beranggapan – dan anggapan tersebut
benar --, bahwa persyaratan tersebut masih kurang komplit juga.
Orang seperti Frank Mendoza, misalnya. Dalam bukunya, ”The Making of a Leader”, ia
antara lain menulis, bahwa sekali pun persyaratan tersebut di atas sudah bukan main
beratnya, ia tetap belum cukup. Belum memadai untuk menjadikan seorang pemimpin
”benar-benar pemimpin”!
Menurut keyakinannya, ada satu unsur yang amat esensial, yang belum tersebutkan di
situ. Apa itu? Yaitu, ”pelayanan”. Bahwa ”memimpin” itu berarti ”melayani”.
”Memimpin” itu berarti ”mengabdi”. ”Menghamba”.
Tanpa unsur ”pelayanan” ini, unsur-unsur kepemimpinan yang lain itu paling banter
hanya memungkinkan orang menjadi seorang ”pemimpin yang trampil”. ”A skilled
leader”. Seorang ”pemimpin yang mampu”. ”A capable leader”. Tapi belum bisa
memberinya kualifikasi sebagai seorang ”pemimpin yang sejati”. ”A true leader”.
”Pemimpin sejati” mesti punya sikap mental seorang pelayan. Mesti punya motivasi
seorang abdi. Mesti bersikap dan bertindak bak seorang hamba. Ia adalah pemimpin yang
menghamba. Sekaligus, hamba yang memimpin.
SAYANG sekali, kata atau terminologi yang bagi Mendoza (dan bagi Yesus!) adalah
”kata kunci” yang begitu sentral – pelayanan --, di zaman kita sekarang cenderung
menjadi kata ”kodian”. Menjadi sebuah kata ”murahan”, yang kian hari kian kehilangan
pemaknaannya yang asli.
Awal ”tragedi” ini, saya akui, adalah justru karena orang menyadari betapa krusialnya
”pelayanan” itu. Tapi ironisnya, kesadaran ini pertama-tama muncul di dunia bisnis. Dan
di lingkungan bisnis inilah, ia dimanfaatkan sehabis-habisnya!
Mengapa saya sebut ”ironis”? Sebab kita tahu, kesadaran akan vitalnya ”pelayanan” itu
‘kan dari lingkungan kekristenan asal-muasalnya. Ini ternyata tak berlangsung lama.
Ketika makna serta semangat ”pelayanan” di lingkungan gereja dan kekristenan tengah
mengalami proses penggerusan yang amat derasnya, dunia bisnis-lah yang
”menghidupkan”nya kembali.
Para pelaku bisnis menemukan kembali nilai strategis ”pelayanan” itu. Sebab itu di dunia
ini pulalah, kemudian lahir istilah-istilah yang kini begitu akrab di bibir hampir semua
orang. ”Customer service”. ”Service center”. ”After-sale service”. Dan jangan lupa, ”Bila
urusan mau lancar, Anda mesti menyediakan ”uang serpis”!”
ìService” menjadi kunci sukses dunia niaga sekarang. Dan ini, untuk kesekian kalinya,
membuktikan kebenaran kata-kata Yesus, betapa ”anak-anak kegelapan” lebih cerdik
ketimbang ”anak-anak terang”. Kapan, saudaraku, kita akan menghentikan kedunguan,
kedegilan dan kelambanan kita?
YANG pantas kita pertanyakan sekarang adalah, apakah ”pelayanan” atau ”service” yang
secara universal telah diakui keampuhannya itu, masih setia mengemban makna aslinya?
Jawabnya, tegas, adalah: Tidak!
Siapa yang belum pernah mengalami, disambut bak raja atau ratu, dengan senyum manis
dan tegur sapa yang ramah, ketika memasuki sebuah toko? Para ”pelayan” (sic!) itu akan
mengikuti kita ke mana pun kita pergi, siap memberi informasi yang kita butuhkan.
Sekali lagi, semua ini dengan sikap hangat dan hormat.
Tapi jangan terlalu ”ge-er”, lalu merana, bila dalam sekejap sikap itu hilang lenyap bagai
uap. Digantikan oleh sikap dingin, acuh tak acuh, bahkan mungkin bibir mencibir serta
sorot mata menghina. ”Huh, udah enggak punya duit, bikin capek gue aje!”. Kapan
perubahan drastis ini terjadi? Yaitu ketika Anda memutuskan tidak membeli apa-apa dari
mereka. Dan mereka tahu, Anda tidak memberi keuntungan apa-apa untuk mereka.
Dalam dunia bisnis, pelanggan adalah raja. Mereka akan berusaha ”melayani” Anda
sebaik mungkin. Membuat Anda merasa senyaman mungkin. Memang! Tapi hanya
selama Anda masih dapat diharapkan akan menguntungkan mereka.
Jadi silakan bertanya, ”pelayanan” itu sebenarnya demi kepentingan siapa? Siapa yang
diharapkan melayani siapa? Jawabnya amat jelas: ”pelayanan” versi bisnis adalah
”melayani kepentingan sendiri”. Swalayan. ”Self-service”. Ini jelas bukan ”melayani”
seperti yang dikehendaki Yesus.
YESUS tidak pernah merumuskan secara rinci apa ”melayani” itu. Mengusulkan definisi
yang paling sederhana pun, Ia tidak. Ketimbang mengumbar kata-kata, Ia agaknya lebih
memilih tindakan nyata. Tapi memang itulah ”pelayanan” itu. ”Pelayanan” adalah
”tindakan” atau ”aksi”. Bukan ”rumusan” atau ”formulasi”.
Salah satu tindakan itu adalah ketika, setelah makan bersama murid-murid-Nya, Ia tibatiba
bangun dari tempat duduk-Nya. Lalu ”menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai
kain lenan, mengikatkannya pada pinggang-Nya, menuangkan air ke dalam sebuah basi,
dan … mulai membasuh kaki murid-murid-Nya” (Yohanes 13:4-5).
Ini tentu saja membuat murid-murid-Nya terpana, terkesima dan tak dapat menerima. Tak
pantas seorang guru membasuh kaki muridnya! Pekerjaan ini adalah pekerjaan ”hina”.
Tugas seorang budak. Pelayan. Hamba. Doulos.
Tapi justru karena itu, Yesus sengaja melakukannya. Ia melaksanakan tugas seorang
”pelayan”. Ia mendemonstrasikan, bahwa Ia adalah – tak kurang dan tak lebih -- seorang
”pelayan”! Dan ”Aku telah memberi teladan kepadamu …” (Yohanes 13:13-14).
”Melayani”! Di mata dunia, ia sama sekali bukan pekerjaan bergengsi. Oleh karena itu,
melakukannya membutuhkan ”kerendahan hati” dan ”penyangkalan diri”. Kesediaan
untuk – bilamana perlu – berjongkok di bawah orang yang kita layani, dan membasuh
(bukan menjilat!) kakinya.
Dalam paradigma Yesus, ini sama sekali tidak merendahkan martabat. Sebaliknyalah,
justru di situlah kehormatan seseorang itu terletak! Benarkah? Ya! Sebab apa yang lebih
mulia dari pada ”kerendahan hati”? Dan apa yang lebih luhur ketimbang ”penyangkalan
diri”?
Apakah yang ”dua” ini bukan tanda kelemahan? So pasti tidak! Sebab tatkala orang
mampu membuktikan kemampuannya melayani orang lain, ia membuktikan bahwa ia
mampu mengalahkan diri sendiri. Dan tanyakanlah pada semua jenderal, maka mereka
akan mengatakan kira-kira, bahwa tak ada keperkasaan yang lebih besar, dari pada bila
berhasil mengalahkan kecende-rungan serta kepentingan diri sendiri!
Sebab itu, wahai pemimpin, tunjukkanlah keabsahan Anda, nyatakanlah kebesaran Anda,
serta buktikanlah kelayakan Anda, sebagai pemimpin sejati – a true leader – melalui
”kerendahan hati” dan ”penyangkalan diri”! Melalui sikap melayani!
Bukan melalui sikap angkara murka, loba, dan semena-mena! Ini hanya menunjukkan
ketidakmampuan Anda mengendalikan nafsu hewani Anda! Anda cuma pantas disebut
”pemimpin palsu”. ”Pemimpin gadungan”. Mungkin ditakuti, tapi pasti diumpat dan
dilaknat oleh setiap hati!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar