pasti tidak terlalu meleset, bila saya katakan bahwa Anda kira-kira akan menjawab
begini. Bahwa ”memimpin” itu berarti memberi arah, mengelola, mengorganisir,
mengambil keputusan, mendelegasikan wewenang, membuat perencanaan untuk masa
depan Dan sebagainya.
Seorang ”pemimpin” yang baik memahami dengan jelas, apa yang ingin dan harus ia
capai; mengetahui dengan tepat apa yang mesti ia lakukan untuk mencapainya; dan
memiliki keterampilan untuk mengatur pelaksanaannya.
Salahkah jawaban-jawaban itu? Sudah pasti tidak! Megawati dinilai oleh beberapa
pengamat sebagai kurang memuaskan kinerja kepemimpinannya. Mengapa? Terutama
karena ia gagal memberi arah yang jelas bagi perjalanan bangsa. Tak punya visi yang
jernih. Atau punya, barangkali. Tapi tak mampu menjadikannya sebagai ”visi bersama”
(= common vision) seluruh anak negeri.
Sebaliknya dengan Lee Kuan Yew. Orang boleh saja tidak menyukai ”gaya”nya, yang
kadang-kadang memang terkesan arogan dan kurang diplomatis. Tapi siapa dapat
memungkiri kehebatannya dan keberhasilannya sebagai ”pemimpin”?
Ia menakjubkan dunia, karena suksesnya menata, mengelola dan mengorganisasi
Singapura. Karena kemampuannya dalam menerjemahkan visi menjadi program nyata.
Karena kepiawaiannya mengambil keputusan yang tepat, walau acap kali tidak populer
serta kontroversial.
Dan yang membuat keberhasilan kepemimpinannya tak terbantahkan, adalah hasilnya.
Dari sebuah negara-pulau yang semula cenderung mesum, kumuh, dan rawan karena
dikuasai para gangster, Lee berhasil mengubah Singapura menjadi negara yang paling
aman, paling bersih, paling tertib, dan salah satu yang paling makmur di dunia.
SEKIRANYA saja Anda dapat menemukan seseorang, entahkah ia laki-laki atau
perempuan, yang dalam dirinya mampu memadu dan meramu semua kandungan isi (=
ingredient) kepemimpinan yang saya sebutkan itu, o, jangan ragu-ragu lagi! Pilih ia jadi
presiden! Cuma soalnya, mungkinkah menemukan orang seperti itu? Saya
meragukannya.
Dan yang lebih gawat lagi adalah ini. Yaitu bila menemukan orang yang berkualifikasi
seperti itu saja sudah nyaris mustahil, toh ada yang beranggapan – dan anggapan tersebut
benar --, bahwa persyaratan tersebut masih kurang komplit juga.
Orang seperti Frank Mendoza, misalnya. Dalam bukunya, ”The Making of a Leader”, ia
antara lain menulis, bahwa sekali pun persyaratan tersebut di atas sudah bukan main
beratnya, ia tetap belum cukup. Belum memadai untuk menjadikan seorang pemimpin
”benar-benar pemimpin”!
Menurut keyakinannya, ada satu unsur yang amat esensial, yang belum tersebutkan di
situ. Apa itu? Yaitu, ”pelayanan”. Bahwa ”memimpin” itu berarti ”melayani”.
”Memimpin” itu berarti ”mengabdi”. ”Menghamba”.
Tanpa unsur ”pelayanan” ini, unsur-unsur kepemimpinan yang lain itu paling banter
hanya memungkinkan orang menjadi seorang ”pemimpin yang trampil”. ”A skilled
leader”. Seorang ”pemimpin yang mampu”. ”A capable leader”. Tapi belum bisa
memberinya kualifikasi sebagai seorang ”pemimpin yang sejati”. ”A true leader”.
”Pemimpin sejati” mesti punya sikap mental seorang pelayan. Mesti punya motivasi
seorang abdi. Mesti bersikap dan bertindak bak seorang hamba. Ia adalah pemimpin yang
menghamba. Sekaligus, hamba yang memimpin.
SAYANG sekali, kata atau terminologi yang bagi Mendoza (dan bagi Yesus!) adalah
”kata kunci” yang begitu sentral – pelayanan --, di zaman kita sekarang cenderung
menjadi kata ”kodian”. Menjadi sebuah kata ”murahan”, yang kian hari kian kehilangan
pemaknaannya yang asli.
Awal ”tragedi” ini, saya akui, adalah justru karena orang menyadari betapa krusialnya
”pelayanan” itu. Tapi ironisnya, kesadaran ini pertama-tama muncul di dunia bisnis. Dan
di lingkungan bisnis inilah, ia dimanfaatkan sehabis-habisnya!
Mengapa saya sebut ”ironis”? Sebab kita tahu, kesadaran akan vitalnya ”pelayanan” itu
‘kan dari lingkungan kekristenan asal-muasalnya. Ini ternyata tak berlangsung lama.
Ketika makna serta semangat ”pelayanan” di lingkungan gereja dan kekristenan tengah
mengalami proses penggerusan yang amat derasnya, dunia bisnis-lah yang
”menghidupkan”nya kembali.
Para pelaku bisnis menemukan kembali nilai strategis ”pelayanan” itu. Sebab itu di dunia
ini pulalah, kemudian lahir istilah-istilah yang kini begitu akrab di bibir hampir semua
orang. ”Customer service”. ”Service center”. ”After-sale service”. Dan jangan lupa, ”Bila
urusan mau lancar, Anda mesti menyediakan ”uang serpis”!”
ìService” menjadi kunci sukses dunia niaga sekarang. Dan ini, untuk kesekian kalinya,
membuktikan kebenaran kata-kata Yesus, betapa ”anak-anak kegelapan” lebih cerdik
ketimbang ”anak-anak terang”. Kapan, saudaraku, kita akan menghentikan kedunguan,
kedegilan dan kelambanan kita?
YANG pantas kita pertanyakan sekarang adalah, apakah ”pelayanan” atau ”service” yang
secara universal telah diakui keampuhannya itu, masih setia mengemban makna aslinya?
Jawabnya, tegas, adalah: Tidak!
Siapa yang belum pernah mengalami, disambut bak raja atau ratu, dengan senyum manis
dan tegur sapa yang ramah, ketika memasuki sebuah toko? Para ”pelayan” (sic!) itu akan
mengikuti kita ke mana pun kita pergi, siap memberi informasi yang kita butuhkan.
Sekali lagi, semua ini dengan sikap hangat dan hormat.
Tapi jangan terlalu ”ge-er”, lalu merana, bila dalam sekejap sikap itu hilang lenyap bagai
uap. Digantikan oleh sikap dingin, acuh tak acuh, bahkan mungkin bibir mencibir serta
sorot mata menghina. ”Huh, udah enggak punya duit, bikin capek gue aje!”. Kapan
perubahan drastis ini terjadi? Yaitu ketika Anda memutuskan tidak membeli apa-apa dari
mereka. Dan mereka tahu, Anda tidak memberi keuntungan apa-apa untuk mereka.
Dalam dunia bisnis, pelanggan adalah raja. Mereka akan berusaha ”melayani” Anda
sebaik mungkin. Membuat Anda merasa senyaman mungkin. Memang! Tapi hanya
selama Anda masih dapat diharapkan akan menguntungkan mereka.
Jadi silakan bertanya, ”pelayanan” itu sebenarnya demi kepentingan siapa? Siapa yang
diharapkan melayani siapa? Jawabnya amat jelas: ”pelayanan” versi bisnis adalah
”melayani kepentingan sendiri”. Swalayan. ”Self-service”. Ini jelas bukan ”melayani”
seperti yang dikehendaki Yesus.
YESUS tidak pernah merumuskan secara rinci apa ”melayani” itu. Mengusulkan definisi
yang paling sederhana pun, Ia tidak. Ketimbang mengumbar kata-kata, Ia agaknya lebih
memilih tindakan nyata. Tapi memang itulah ”pelayanan” itu. ”Pelayanan” adalah
”tindakan” atau ”aksi”. Bukan ”rumusan” atau ”formulasi”.
Salah satu tindakan itu adalah ketika, setelah makan bersama murid-murid-Nya, Ia tibatiba
bangun dari tempat duduk-Nya. Lalu ”menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai
kain lenan, mengikatkannya pada pinggang-Nya, menuangkan air ke dalam sebuah basi,
dan … mulai membasuh kaki murid-murid-Nya” (Yohanes 13:4-5).
Ini tentu saja membuat murid-murid-Nya terpana, terkesima dan tak dapat menerima. Tak
pantas seorang guru membasuh kaki muridnya! Pekerjaan ini adalah pekerjaan ”hina”.
Tugas seorang budak. Pelayan. Hamba. Doulos.
Tapi justru karena itu, Yesus sengaja melakukannya. Ia melaksanakan tugas seorang
”pelayan”. Ia mendemonstrasikan, bahwa Ia adalah – tak kurang dan tak lebih -- seorang
”pelayan”! Dan ”Aku telah memberi teladan kepadamu …” (Yohanes 13:13-14).
”Melayani”! Di mata dunia, ia sama sekali bukan pekerjaan bergengsi. Oleh karena itu,
melakukannya membutuhkan ”kerendahan hati” dan ”penyangkalan diri”. Kesediaan
untuk – bilamana perlu – berjongkok di bawah orang yang kita layani, dan membasuh
(bukan menjilat!) kakinya.
Dalam paradigma Yesus, ini sama sekali tidak merendahkan martabat. Sebaliknyalah,
justru di situlah kehormatan seseorang itu terletak! Benarkah? Ya! Sebab apa yang lebih
mulia dari pada ”kerendahan hati”? Dan apa yang lebih luhur ketimbang ”penyangkalan
diri”?
Apakah yang ”dua” ini bukan tanda kelemahan? So pasti tidak! Sebab tatkala orang
mampu membuktikan kemampuannya melayani orang lain, ia membuktikan bahwa ia
mampu mengalahkan diri sendiri. Dan tanyakanlah pada semua jenderal, maka mereka
akan mengatakan kira-kira, bahwa tak ada keperkasaan yang lebih besar, dari pada bila
berhasil mengalahkan kecende-rungan serta kepentingan diri sendiri!
Sebab itu, wahai pemimpin, tunjukkanlah keabsahan Anda, nyatakanlah kebesaran Anda,
serta buktikanlah kelayakan Anda, sebagai pemimpin sejati – a true leader – melalui
”kerendahan hati” dan ”penyangkalan diri”! Melalui sikap melayani!
Bukan melalui sikap angkara murka, loba, dan semena-mena! Ini hanya menunjukkan
ketidakmampuan Anda mengendalikan nafsu hewani Anda! Anda cuma pantas disebut
”pemimpin palsu”. ”Pemimpin gadungan”. Mungkin ditakuti, tapi pasti diumpat dan
dilaknat oleh setiap hati!
Entri Populer
-
PENGANTAR KITAB NEHEMIA Nehemia berasal dari bahasa Ibrani Nehemyah yang berarti kesenangan dari Allah. Ia seorang juru minu...
Jumat, 13 April 2012
Hamba yang Baik, Setia, dan Dapat Dipercaya
KAMI pernah punya seorang pelayan. Embah Kromo namanya. Atau cukup kami panggil
Embah. Ketika saya masih kecil, embah ini, dalam bayangan saya, sudah cukup tua. Saya
ingat betul sosoknya. Pendek, bungkuk, wajahnya menyungging senyum, bibirnya merah
karena sirih, dan di sudut kanan mulutnya tembakau susur.
”Juadah ketan” dan ”srundeng kelapa” buatannya—hmmm, nyam, nyam—tak ada
tandingannya di seluruh dunia! Juga ”mangut lele” serta ”garang asem” olahannya.
Dialah si Embah yang kami sayangi bak nenek sendiri—mungkin lebih.
Bagi kami, Embah sudah bukan ”pelayan” dalam arti yang lazim. Ia adalah anggota
keluarga. Sebagian dari kami. Karena itu—sebagai anggota keluarga—tidak jarang, ialah
yang memarahi dan menasihati kami. Bukan sebaliknya.
Kebersamaan yang indah ini berlangsung, sampai pada suatu hari, ia minta izin untuk
pulang ke desanya. Tempat kelahirannya ini—di lereng gunung Sumbing—nyaris tak
pernah dijenguknya selama belasan tahun. Ternyata, di situlah Embah mengakhiri
hidupnya. Sampai saat terakhir, ia tak ingin membuat kami repot.
Tatkala mendengar berita kematiannya, kami menangis. Diiringi rasa sakit yang
menghunjam. Dan pedih yang mendalam. Tak dapat kami percaya, bahwa kami tak akan
melihat Embah Kromo lagi.
TAPI apa sih persisnya yang membuat si Embah ini begitu istimewa? Prestasi dan
keterampilan kerjanya memang tidak buruk. Namun sebenarnya juga tidak sangat luar
biasa. Rata-rata saja. Yang membuat kami begitu mencintainya dan menghormatinya,
adalah KESETIAANNYA.
Konon ia mulai bekerja sebagai ”PRT” sejak kakek dan nenek saya mulai berumahtangga.
Waktu itu, Embah pasti masih gadis belia. Ia menyaksikan ketika paman-paman
dan bibi-bibi saya dilahirkan dan mengasuh mereka semua.
Kemudian disaksikannya pula bagaimana para bekas asuhannya itu pada gilirannya juga
beranak-pinak. Embah ikut mengasuh beberapa di antaranya, termasuk saya dan adik
saya.
Jadi ada sekitar lima puluh tahunan lebih ia menjadi bagian dari kehidupan keluarga
kami. Lima puluhan tahun, di mana ia membuktikan dirinya sebagai ”pelayan” yang setia
dan dapat dipercaya. Selama lima puluhan tahun itu ia diuji, dan lulus nyaris tanpa cela.
Ini yang membuat ia istimewa. Amat istimewa. Tak ada duanya.
Karena itu, seandainya Anda bertanya: ”Apa yang membuat seorang ‘pemimpin’ itu
istimewa?”. Jawab saya, tanpa ragu, adalah: ”kesetiaan” dan ”kredibiltas”nya. Lalu bila
Anda, belum puas, bertanya pula: ”Mengapa demikian?”. Maka jawab saya, kembali
tanpa ragu, adalah: sebab ”pemimpin yang baik” seharusnya adalah ”pelayan yang baik”.
Karena itu bila seorang ”pelayan”, lantaran kesetiaan serta kredibilitasnya ia dipuji, maka
di situ pula kualitas kepemimpinan seorang ”pemimpin” itu diuji.
Menurut Anda, ”gelar” atau ”sebutan” apa sih yang paling melegakan, paling
membanggakan, dan paling Anda dambakan, yang Anda harapkan dari Yesus, seselesai
seluruh kerja Anda di dunia?
Kalau saya, wah, alangkah berbahagia dan berbunga-bunganya hati saya, sekiranya
Yesus berkenan memberi sebutan yang sama dengan yang diberikan-Nya, kepada orang
yang dinilai telah mengelola talentanya dengan baik.
Gelar atau sebutan apa itu? Sebenarnya sederhana saja. Yaitu, sebutan ”hamba yang baik
dan setia”. ”Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku yang baik dan setia! Engkau
telah setia dalam perkara kecil, Aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam
perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu!” (Matius 25:21,
23).
”Hamba-Ku yang baik dan setia”! Gelar dan sebutan ini, bila benar-benar keluar dari
mulut Allah, aduhai, Bintang Mahaputera Kelas Utama pun jadi seperti tak ada apaapanya!
Dan yang lebih penting, sebutan tersebut juga menunjuk dengan jelas kualifikasi apa
yang Allah tetapkan Allah bagi seorang ”pemimpin”. Apa itu? ”Pelayan yang baik dan
setia”! ”Terampil dan mampu” memang perlu, siapa bisa menyangkalnya? Tapi karakter,
moral dan integritas pribadi lebih perlu lagi!
PAULUS pun punya keyakinan yang sama. Bila banyak pemimpin, pendeta, dan
penginjil sekarang, rata-rata ingin jadi primadona dan selebritas, kerinduan Paulus sangat
sederhana.
Dengarlah apa yang ia katakan, ”Demikianlah hendaknya orang memandang kami:
sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang
akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata
dapat dipercaya” (1 Korintus 4:1-2).
Wah, berapa gelintir pemimpin atau pendeta atau penginjil sekarang yang masih
demikian? Yang dambaan utamanya adalah menjadi ”hamba yang setia dan dapat
dipercaya” merupakan dambaan utama? Yang ucapan-ucapannya menyatu dengan
dengan tindakan? Yang tak mengalami kepribadian-belah baik sewaktu di mimbar
maupun ketika berada di mana saja?
Beberapa pejabat gereja menumpahkan keluhan mereka, tentang betapa sebagian besar
waktu dan energi mereka habis tersita, untuk mengurusi pendeta-pendeta yang
bermasalah. Dan yang jumlahnya, menurut mereka, kian bertambah.
Mengapa ini? Sebab utamanya, mudah diduga, adalah karena mereka bukan ”hambahamba
yang baik dan setia”. Bukan ”pelayan-pelayan yang dapat dipercaya”, tapi
”pesolek-pesolek” yang jatuh cinta berat pada diri sendiri, atau materialis-materialis yang
rakus dan gila harta. Atau megalomania yang mabuk kuasa. Atau demagog-demagog
yang fasih lidah. Atau apa saja. Tapi jelas, mereka bukan ”pelayan-pelayan” yang baik.
Karena itu, bukan pula ”pemimpin-pemimpin” yang baik.
BEGITU kerap saya menyebut kata ”pelayanan”, tapi saya baru tersentak sadar, bahwa
ternyata saya belum menjelaskan, paling sedikit apa yang saya maksudkan, setiap kali
saya menggunakan kata-kata itu. Perkenankanlah saya ”menebus” kealpaan itu—
sekarang.
Ini perlu, sebab istilah ”pelayanan”, seperti pernah kita bicarakan, di zaman kita
sekarang, telah berkembang menjadi sebuah kata yang manca-makna. Multi-arti.
Istilah ini dipakai mulai dari ”menyerpis mobil’ sampai ke ”menyerpis pejabat”. Di
dalam Alkitab, kata ini juga mengandung aspek, dimensi, dan variasi makna yang
beragam.
Toh bagi saya—di tengah keberagaman itu—nasihat Paulus di bawah ini, merumuskan
dengan jitu, inti atau esensi ”pelayanan” yang paling hakiki. Tulisnya, ”(Hendaklah
kamu) tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya
hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada
dirinya sendiri. Dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya
sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Filipi 2:3-4).
Dari hati seorang ”pelayan” (baca: ”pemimpin”) tulen, terpancar keelokan dan keindahan
sejati dari ”kerendah-hatian”. Sebab ”kerendah-hatian”, saudara, tidak cukup dibuktikan,
sekadar hanya dengan kata-kata yang ”merendah”, namun keluar dari hati yang pongah.
Tak cukup diperlihatkan sekadar hanya dengan kepala yang tunduk atau jalan
terbongkok-bongkok, namun dengan tangan siap menikam. Dan lebih tidak kena lagi,
bila ia coba ditunjukkan dengan sikap bermanis muka.
Bukti paling sahih dari ”kerendah-hatian” adalah ”pelayanan”. Sebab dengan ”melayani”,
kita tidak ”mencari kepentingan sendiri” atau ”popularitas diri yang sia-sia”.
Sebaliknyalah, kita menempatkan ”orang lain” di pusat kepedulian kita.
”Kepentingan” dan ”kebutuhan” orang lain kita rasakan sebagai kepentingan dan
kebutuhan kita sendiri. ”Sesama” menjadi ”lebih utama”. Orang tidak hanya
”memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga”.
DI DUNIA ini sebenarnya kita tidak kekurangan orang yang mau memperhatikan
kepentingan orang lain. Orang-orang yang dengan niat baik ingin menolong orang lain.
Namun demikian, ini tidak otomatis membuat kita surplus ”pelayan”. Sekadar punya niat
baik dan berbuat baik, tidak serta-merta menjadikan yang bersangkutan seorang
”pelayan”.
Mengapa tidak? Untuk menjawabnya perkenankan saya memanfaatkan sebuah bahan
refleksi karya Anthony de Mello. Tentang seekor kera yang resah melihat ikan-ikan
berenang hilir mudik di telaga di depannya. Berulang kali ia berupaya menangkap ikanikan
itu. Tapi hanya seekor yang berhasil ditangkapnya.
Lalu diapakannya ikan tangkapannya itu? Ternyata ia berlelah-lelah begitu rupa, hanya
untuk akhirnya meletakkan ikan itu di atas tanah. ”Apa gerangan yang kau lakukan itu,
kera sahabatku ?”, tanya kura-kura terheran-heran. ”Aku menyelamatkan ikan ini dari
tenggelam! Sayang cuma berhasil satu ekor saja,” jawab si kera.
Kera itu berniat baik. Ia juga berusaha keras berbuat baik, tapi ”baik” dari sudut
pandangnya sendiri. Tapi tidak dari perspektif dan kepentingan si ikan. Tak terlintas di
pikirannya bahwa, berbeda dengan dirinya, justru di airlah ikan bisa hidup dengan
bebasnya.
Banyak ”pemimpin” kita yang benar-benar punya niat baik. Dan yang, saya tahu, telah
bekerja keras mewujudkan niatnya yang baik itu. Tapi karena ia hanya berbuat banyak
”untuk” rakyat, tapi tidak ”bersama” rakyat, ia tidak dapat disebut seorang ”pelayan”
yang baik.
Dan sebab ia bukan seorang ”pelayan” yang baik, jelaslah, sayang beribu kali sayang, ia
bukan seorang ”pemimpin” yang baik. by eka dharma putra
Embah. Ketika saya masih kecil, embah ini, dalam bayangan saya, sudah cukup tua. Saya
ingat betul sosoknya. Pendek, bungkuk, wajahnya menyungging senyum, bibirnya merah
karena sirih, dan di sudut kanan mulutnya tembakau susur.
”Juadah ketan” dan ”srundeng kelapa” buatannya—hmmm, nyam, nyam—tak ada
tandingannya di seluruh dunia! Juga ”mangut lele” serta ”garang asem” olahannya.
Dialah si Embah yang kami sayangi bak nenek sendiri—mungkin lebih.
Bagi kami, Embah sudah bukan ”pelayan” dalam arti yang lazim. Ia adalah anggota
keluarga. Sebagian dari kami. Karena itu—sebagai anggota keluarga—tidak jarang, ialah
yang memarahi dan menasihati kami. Bukan sebaliknya.
Kebersamaan yang indah ini berlangsung, sampai pada suatu hari, ia minta izin untuk
pulang ke desanya. Tempat kelahirannya ini—di lereng gunung Sumbing—nyaris tak
pernah dijenguknya selama belasan tahun. Ternyata, di situlah Embah mengakhiri
hidupnya. Sampai saat terakhir, ia tak ingin membuat kami repot.
Tatkala mendengar berita kematiannya, kami menangis. Diiringi rasa sakit yang
menghunjam. Dan pedih yang mendalam. Tak dapat kami percaya, bahwa kami tak akan
melihat Embah Kromo lagi.
TAPI apa sih persisnya yang membuat si Embah ini begitu istimewa? Prestasi dan
keterampilan kerjanya memang tidak buruk. Namun sebenarnya juga tidak sangat luar
biasa. Rata-rata saja. Yang membuat kami begitu mencintainya dan menghormatinya,
adalah KESETIAANNYA.
Konon ia mulai bekerja sebagai ”PRT” sejak kakek dan nenek saya mulai berumahtangga.
Waktu itu, Embah pasti masih gadis belia. Ia menyaksikan ketika paman-paman
dan bibi-bibi saya dilahirkan dan mengasuh mereka semua.
Kemudian disaksikannya pula bagaimana para bekas asuhannya itu pada gilirannya juga
beranak-pinak. Embah ikut mengasuh beberapa di antaranya, termasuk saya dan adik
saya.
Jadi ada sekitar lima puluh tahunan lebih ia menjadi bagian dari kehidupan keluarga
kami. Lima puluhan tahun, di mana ia membuktikan dirinya sebagai ”pelayan” yang setia
dan dapat dipercaya. Selama lima puluhan tahun itu ia diuji, dan lulus nyaris tanpa cela.
Ini yang membuat ia istimewa. Amat istimewa. Tak ada duanya.
Karena itu, seandainya Anda bertanya: ”Apa yang membuat seorang ‘pemimpin’ itu
istimewa?”. Jawab saya, tanpa ragu, adalah: ”kesetiaan” dan ”kredibiltas”nya. Lalu bila
Anda, belum puas, bertanya pula: ”Mengapa demikian?”. Maka jawab saya, kembali
tanpa ragu, adalah: sebab ”pemimpin yang baik” seharusnya adalah ”pelayan yang baik”.
Karena itu bila seorang ”pelayan”, lantaran kesetiaan serta kredibilitasnya ia dipuji, maka
di situ pula kualitas kepemimpinan seorang ”pemimpin” itu diuji.
Menurut Anda, ”gelar” atau ”sebutan” apa sih yang paling melegakan, paling
membanggakan, dan paling Anda dambakan, yang Anda harapkan dari Yesus, seselesai
seluruh kerja Anda di dunia?
Kalau saya, wah, alangkah berbahagia dan berbunga-bunganya hati saya, sekiranya
Yesus berkenan memberi sebutan yang sama dengan yang diberikan-Nya, kepada orang
yang dinilai telah mengelola talentanya dengan baik.
Gelar atau sebutan apa itu? Sebenarnya sederhana saja. Yaitu, sebutan ”hamba yang baik
dan setia”. ”Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku yang baik dan setia! Engkau
telah setia dalam perkara kecil, Aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam
perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu!” (Matius 25:21,
23).
”Hamba-Ku yang baik dan setia”! Gelar dan sebutan ini, bila benar-benar keluar dari
mulut Allah, aduhai, Bintang Mahaputera Kelas Utama pun jadi seperti tak ada apaapanya!
Dan yang lebih penting, sebutan tersebut juga menunjuk dengan jelas kualifikasi apa
yang Allah tetapkan Allah bagi seorang ”pemimpin”. Apa itu? ”Pelayan yang baik dan
setia”! ”Terampil dan mampu” memang perlu, siapa bisa menyangkalnya? Tapi karakter,
moral dan integritas pribadi lebih perlu lagi!
PAULUS pun punya keyakinan yang sama. Bila banyak pemimpin, pendeta, dan
penginjil sekarang, rata-rata ingin jadi primadona dan selebritas, kerinduan Paulus sangat
sederhana.
Dengarlah apa yang ia katakan, ”Demikianlah hendaknya orang memandang kami:
sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang
akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata
dapat dipercaya” (1 Korintus 4:1-2).
Wah, berapa gelintir pemimpin atau pendeta atau penginjil sekarang yang masih
demikian? Yang dambaan utamanya adalah menjadi ”hamba yang setia dan dapat
dipercaya” merupakan dambaan utama? Yang ucapan-ucapannya menyatu dengan
dengan tindakan? Yang tak mengalami kepribadian-belah baik sewaktu di mimbar
maupun ketika berada di mana saja?
Beberapa pejabat gereja menumpahkan keluhan mereka, tentang betapa sebagian besar
waktu dan energi mereka habis tersita, untuk mengurusi pendeta-pendeta yang
bermasalah. Dan yang jumlahnya, menurut mereka, kian bertambah.
Mengapa ini? Sebab utamanya, mudah diduga, adalah karena mereka bukan ”hambahamba
yang baik dan setia”. Bukan ”pelayan-pelayan yang dapat dipercaya”, tapi
”pesolek-pesolek” yang jatuh cinta berat pada diri sendiri, atau materialis-materialis yang
rakus dan gila harta. Atau megalomania yang mabuk kuasa. Atau demagog-demagog
yang fasih lidah. Atau apa saja. Tapi jelas, mereka bukan ”pelayan-pelayan” yang baik.
Karena itu, bukan pula ”pemimpin-pemimpin” yang baik.
BEGITU kerap saya menyebut kata ”pelayanan”, tapi saya baru tersentak sadar, bahwa
ternyata saya belum menjelaskan, paling sedikit apa yang saya maksudkan, setiap kali
saya menggunakan kata-kata itu. Perkenankanlah saya ”menebus” kealpaan itu—
sekarang.
Ini perlu, sebab istilah ”pelayanan”, seperti pernah kita bicarakan, di zaman kita
sekarang, telah berkembang menjadi sebuah kata yang manca-makna. Multi-arti.
Istilah ini dipakai mulai dari ”menyerpis mobil’ sampai ke ”menyerpis pejabat”. Di
dalam Alkitab, kata ini juga mengandung aspek, dimensi, dan variasi makna yang
beragam.
Toh bagi saya—di tengah keberagaman itu—nasihat Paulus di bawah ini, merumuskan
dengan jitu, inti atau esensi ”pelayanan” yang paling hakiki. Tulisnya, ”(Hendaklah
kamu) tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya
hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada
dirinya sendiri. Dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya
sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Filipi 2:3-4).
Dari hati seorang ”pelayan” (baca: ”pemimpin”) tulen, terpancar keelokan dan keindahan
sejati dari ”kerendah-hatian”. Sebab ”kerendah-hatian”, saudara, tidak cukup dibuktikan,
sekadar hanya dengan kata-kata yang ”merendah”, namun keluar dari hati yang pongah.
Tak cukup diperlihatkan sekadar hanya dengan kepala yang tunduk atau jalan
terbongkok-bongkok, namun dengan tangan siap menikam. Dan lebih tidak kena lagi,
bila ia coba ditunjukkan dengan sikap bermanis muka.
Bukti paling sahih dari ”kerendah-hatian” adalah ”pelayanan”. Sebab dengan ”melayani”,
kita tidak ”mencari kepentingan sendiri” atau ”popularitas diri yang sia-sia”.
Sebaliknyalah, kita menempatkan ”orang lain” di pusat kepedulian kita.
”Kepentingan” dan ”kebutuhan” orang lain kita rasakan sebagai kepentingan dan
kebutuhan kita sendiri. ”Sesama” menjadi ”lebih utama”. Orang tidak hanya
”memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga”.
DI DUNIA ini sebenarnya kita tidak kekurangan orang yang mau memperhatikan
kepentingan orang lain. Orang-orang yang dengan niat baik ingin menolong orang lain.
Namun demikian, ini tidak otomatis membuat kita surplus ”pelayan”. Sekadar punya niat
baik dan berbuat baik, tidak serta-merta menjadikan yang bersangkutan seorang
”pelayan”.
Mengapa tidak? Untuk menjawabnya perkenankan saya memanfaatkan sebuah bahan
refleksi karya Anthony de Mello. Tentang seekor kera yang resah melihat ikan-ikan
berenang hilir mudik di telaga di depannya. Berulang kali ia berupaya menangkap ikanikan
itu. Tapi hanya seekor yang berhasil ditangkapnya.
Lalu diapakannya ikan tangkapannya itu? Ternyata ia berlelah-lelah begitu rupa, hanya
untuk akhirnya meletakkan ikan itu di atas tanah. ”Apa gerangan yang kau lakukan itu,
kera sahabatku ?”, tanya kura-kura terheran-heran. ”Aku menyelamatkan ikan ini dari
tenggelam! Sayang cuma berhasil satu ekor saja,” jawab si kera.
Kera itu berniat baik. Ia juga berusaha keras berbuat baik, tapi ”baik” dari sudut
pandangnya sendiri. Tapi tidak dari perspektif dan kepentingan si ikan. Tak terlintas di
pikirannya bahwa, berbeda dengan dirinya, justru di airlah ikan bisa hidup dengan
bebasnya.
Banyak ”pemimpin” kita yang benar-benar punya niat baik. Dan yang, saya tahu, telah
bekerja keras mewujudkan niatnya yang baik itu. Tapi karena ia hanya berbuat banyak
”untuk” rakyat, tapi tidak ”bersama” rakyat, ia tidak dapat disebut seorang ”pelayan”
yang baik.
Dan sebab ia bukan seorang ”pelayan” yang baik, jelaslah, sayang beribu kali sayang, ia
bukan seorang ”pemimpin” yang baik. by eka dharma putra
Rabu, 11 April 2012
willyam carey
Willyam
Carey
Kelahiran
Wiliam Carey dilahirkan di sebuah
pondok kecil yang atapnya terbuat dari ilalang di Nortamptonshire, Inggris pada
tahun 1761. keluarga
Carey merupakan keluarga tidak mampu dan mereka menjadi anggota sebuah Gereja Anglikan. Carey
menikah pada tahun 1781. Pada
tahun 1785 Carey pindah ke Moulthon.di sana ia menjadi seorang pengkhotbah dan
kepala sekolah pada siang hari,
sedangkan malam hari ia bekerja sebagai
seorang tukang sepatu. Ia juga seorang yang sangat mencintai
tanaman. Meskipun Carey melakukan berbagai pekerjaan, ia
menyempatkan diri untuk mempelajari sendiri bahasa Yunani, Ibrani, Belanda dan Perancis.
Pada tahun 1792 Carey mengkritik golongan Baptis yang bercorak Calvinis
menafsirkan teologi predestinasi
sedemikian rupa yang berpendapat jika Tuhan bermaksud menyelamatkan
bangsa-bangsa yang jauh, Dia dapat menyelamatkan mereka tanpa memakai tenaga
manusia sebagai pekabar Injil. Kritikan Carey terhadap Calvinisme
dinyatakan dalam buku, An
Inquiry into the Obligation to use Means for the Conversion of the Heathen, yang
isinya mengatakan bahwa tenaga manusia dibutuhkan untuk menginjili
bangsa-bangsa yang jauh. Suatu
saat pada waktu ia berada di bengkel sepatunya sendirian ia mendapat panggilan bahwa sudah kewajiban
untuk semua orang percaya kepada injil, bagi mereka untuk berusaha supaya injil
dikenal semua bangsa.
Ketertarikannya pada saat membaca buku harian David Brainerd, yang menyerahkan diri untuk mengabarkan
Injil kepada orang Indian di Amerika
menginspirasikannya untuk menjadi salah satu misionaris pertama
yang pergi ke India. Pada
tahun 1793 ia dengan terpaksa pergi ke India sendirian karena anak dan istrinya
tidak mau ikut. Istrinya bernama Dorothy, setelah dua kali dia kembali dari
india dan membujuk keluarganya, akhirnya mereka mau ikut. Mereka menjalani
tahun-tahun keputusasaan (selama tujuh tahun tak ada satu pun orang India yang
bertobat), hutang, penyakit, keadaan yang memperburuk pikiran istrinya sehingga
ia mengalami gangguan jiwa, dan kematian. Hal sangat mempengaruhi perkembangan
anak mereka. Namun atas anugerah Tuhan dan dengan kekuatan firman Tuhan, Carey tetap
berjalan dan berjuang untuk Kristus.
Karya-karya William Carey
Carey berhasil mendirikan
berbagai gereja dan sekolah di India, menerjemahkan Alkitab ke dalam berbagai
bahasa, membuka pusat kesehatan, mendirikan seminari, dan
menyokong reformasi sosial dengan sukses (termasuk
menghentikan perlakuan kasar terhadap kaum wanita, pembunuhan anak-anak,
pengguguran bayi, dan sati, yaitu upacara pembakaran para janda yang sudah
menjadi tradisi di sana). Carey menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang
untuk mengikuti jejaknya dalam bidang misionaris, termasuk ahli bahasa berbakat
Henry Martyn. Sebelum meninggal dunia, Carey
telah menyelesaikan penerjemahan Alkitab ke dalam
bahasa Urdu, yang
tetap menjadi dasar terjemahan modern, dan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Arab dan Persia.
Keahlian Carey di bidang praktis juga dipakai demi pembangunan negeri India. Ia mendirikan Horticultural Society
(Persekutuan Ilmu Perkebunan) dengan tujuan meningkatkan metode-metode
pertanian, termasuk mengimpor pohon buah-buahan dari Inggris.
Penerjemahan Alkitab diprioritaskan, sehingga dalam waktu 30 tahun dia
dan bersama beberapa rekannya menerjemahkan seluruh Alkitab ke dalam 6 bahasa,
ditambah bagian-bagian tertentu dari Alkitab yang diterjemahkan ke dalam 26
bahasa. Ini merupakan langkah awal yang sangat bermakna dalam usaha
perkembangan kekristenan di India. Carey ingin mengabarkan Injil seluas dan secepat
mungkin, sehingga ia berjalan mengunjungi berbagai pedesaan, mendirikan pos-pos
pekabaran Injil di tepi Sungai Gangga, di Orissa dan sampai ke Burma. Tujuan Carey adalah
secepat mungkin mendirikan gereja asli India yang mandiri.
Wafat
Carey
meninggal pada usia ke-73 (1834). Sebelumnya dia telah melihat Alkitab
diterjemahkan dan dicetak dalam empat puluh bahasa, dia telah menjadi profesor
di suatu sekolah tinggi, dan telah mendirikan sekolah tinggi di Serampore. Dia
telah melihat India membuka pintunya untuk misi, dia telah melihat
diberlakukannya larangan hukuman sati (membakar jendela pada saat upacara
pembakaran mayat suami yang meninggal), dan dia telah melihat pertobatan untuk
Kristus.
Di tempat tidur di mana
dia meninggal, Carey berpesan kepada teman misinya, Dr. Duff! Engkau telah
berbicara tentang Dr. Carey; saat saya pergi, jangan katakan apa pun tentang
Dr. Carey tapi katakan tentang Allah Dr. Carey.”Perintah itu merupakan simbol
dari Carey, yang oleh banyak orang dianggap sebagai seorang “tokoh yang unik,
melebihi orang-orang pada zamannya dan pendahulunya” dalam pelayanan misi
Kamis, 29 Maret 2012
sejarah berdirinya gereja GBI
SEJARAH BERDIRINYA
GEREJA BETHEL INDONESIA
Pada tahun 1922, Pendeta W.H. Offiler dari Bethel Pentecostal Temple Inc., Seattle, Washington, Amerika Serikat,
mengutus dua orang misionarisnya ke Indonesia, yaitu Pdt. Van Klaveren dan
Groesbeek, orang Amerika keturunan Belanda.
Pada mulanya mereka
memberitakan Injil di Bali, tetapi kemudian pindah ke Cepu, Jawa Tengah.
Di sini mereka bertemu dengan F.G. Van Gessel, seorang Kristen Injili yang bekerja pada Perusahaan Minyak Belanda Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Van Gessel pada tahun sebelumnya telah
bertobat dan menerima hidup baru dalam kebaktian Vrije Evangelisatie Bond
yang dipimpin oleh Pdt. C.H. Hoekendijk (ayah dari Karel Hoekendjik).
Groosbeek kemudian
menetap di Cepu dan mengadakan kebaktian bersama-sama dengan Van Gessel.
Sementara itu, Van Klaveren pindah ke Lawang, Jawa Timur.
Januari 1923, Nyonya Van Gessel sebagai wanita yang pertama di
Indonesia menerima Baptisan Roh Kudus
dan demikian pula dengan suaminya beberapa bulan setelahnya.
Tanggal 30 Maret 1923, pada hari raya Jumat Agung, Groesbeek mengundang
Pdt. J. Thiessen dan Weenink Van Loon dari Bandung dalam rangka pelayanan baptisan air pertama kalinya
di Jemaat Cepu ini. Pada hari itu, lima belas jiwa baru dibaptiskan.
Dalam
kebaktian-kebaktian berikutnya, bertambah-tambah lagi jemaat yang menerima
Baptisan Roh Kudus, banyak orang sakit mengalami kesembuhan secara mujizat. Karunia-karunia Roh Kudus
dinyatakan dengan ajaib di tengah-tengah jemaat itu.
Inilah permulaan dari
gerakan Pentakosta di Indonesia. Berempat, Van Klaveren, Groesbeek, Van
Gessel, dan Pdt. J. Thiessen, berempat merupakan pionir dari "Gerakan
Pentakosta" di Indonesia.
Kemudian Groesbeek
pindah ke Surabaya, dan Van Gessel telah menjadi Evangelis yang meneruskan
memimpin Jemaat Cepu.
April 1926, Groesbeek dan Van Klaveren berpindah lagi ke Batavia
(Jakarta). Sementara Van Gessel meletakkan jabatannya sebagai Pegawai Tinggi di
BPM dan pindah ke Surabaya untuk memimpin Jemaat Surabaya.
Jemaat yang dipimpin
Van Gessel itu bertumbuh dan berkembang pesat dengan membuka cabang-cabang di
mana-mana, sehingga mendapat pengakuan Pemerintah Hindia Belanda dengan nama
“De Pinksterkerk in Indonesia” (sekarang Gereja Pantekosta di Indonesia).
Pada 1932, Jemaat di Surabaya ini membangun gedung Gereja
dengan kapasitas 1.000 tempat duduk (gereja yang terbesar di Surabaya pada
waktu itu).
Tahun 1935, Van Gessel mulai meluaskan pelajaran Alkitab yang
disebutnya “Studi Tabernakel”.
Gereja Bethel
Pentecostal Temple, Seattle, kemudian mengurus beberapa misionaris lagi.
Satu di antaranya yaitu, W.W. Patterson membuka Sekolah Akitab di Surabaya
(NIBI: Netherlands Indies Bible Institute). Sesudah Perang Dunia II, para
misionaris itu membuka Sekolah Alkitab di berbagai tempat.
Sesudah pecah perang,
maka pimpinan gereja harus diserahkan kepada orang Indonesia. H.N. Rungkat
terpilih sebagai ketua Gereja Pentakosta di Indonesia untuk menggantikan Van
Gessel.
Jemaat gereja yang
seharusnya menjaga jarak dari sikap politik yang terpecah belah terjebak dalam
nasionalisme yang tengah berkobar-kobar pada saat itu. Akibatnya roh
nasionalisme meliputi suasana kebaktian dalam gereja-gereja Pentakosta. Van
Gessel menyadari bahwa ia tidak bisa lagi bertindak sebagai pemimpin.
Kondisi rohani Gereja
Pentakosta di saat itu menyebabkan ketidakpuasan di sebagian kalangan
pendeta-pendeta Gereja tersebut. Ketidakpuasan ini juga ditambah lagi dengan
kekuasaan otoriter dari Pengurus Pusat Gereja.
Akibatnya, sekelompok
pendeta yang terdiri dari 22 orang, memisahkan diri dari Organisasi Gereja
Pentakosta, di antaranya adalah Pdt. H.L. Senduk.
Pada tanggal 21 Januari 1952, di kota Surabaya, mereka kemudian membentuk suatu
organisasi gereja baru yang bernama Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS).
Van Gessel dipilih
menjadi “Pemimpin Rohani” dan H.L Senduk ditunjuk menjadi “Pemimpin Organisasi”
(Ketua Badan Penghubung). Senduk berperan sebagai Pendeta dari jemaatnya di
Jakarta, sedangkan Van Gessel memimpin jemaatnya di Jakarta dan Surabaya.
Pada tahun 1954, Van Gessel meninggalkan Indonesia dan pindah ke
Irian Jaya (waktu itu di bawah Pemerintahan Belanda). Jemaat Surabaya
diserahkannya kepada menantunya, Pdt. C. Totays.
Di Hollandia
(sekarang Jayapura). Van Gessel membentuk suatu organisasi baru yang
bernama Bethel Pinkesterkerk (sekarang Bethel Pentakosta). Van Gessel
kemudian meninggal dunia pada tahun 1957 dan kepemimpinan Jemaat Bethel Pinkesterkerk diteruskan
oleh Pdt. C. Totays.
Tahun 1962, sesudah Irian Jaya diserahkan kembali kepada
Pemerintah Indonesia, maka semua warga negara Kerajaan Belanda harus kembali ke
negerinya. Jemaat berbahasa Belanda di Hollandia ditutup, tetapi jemaat-jemaat
berbahasa Indonesia berjalan terus di bawah pimpinan Pendeta-pendeta Indonesia.
Roda sejarah berputar
terus, dan GBIS di bawah pimpinan H.L. Senduk berkembang dengan pesat.
Bermacam-macam kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi organisasi ini.
Namun semakin besarnya organisasi, begitu banyak kepentingan yang harus
diakomodasi.
Pada 1968-1969, kepemimpinan Senduk di GBIS diambil alih oleh
pihak-pihak lain yang disokong suatu keputusan Menteri Agama. Senduk dan
pendukungnya memisahkan diri dari organisasi GBIS.
6 Oktober 1970, H.L. Senduk dan rekan-rekannya membentuk sebuah
organisasi Gereja baru bernama Gereja Bethel Indonesia (GBI) dan diakui
pemerintah secara sah pada tahun 1972 sebagai suatu Kerkgenootschap yang berhak hidup dan
berkembang di bumi Indonesia.
Pdt H.L. Senduk
melayani GBI Jemaat Petamburan dibantu oleh istrinya Pdt Helen Theska Senduk,
Pdt Thio Tjong Koan, dan Pdt Harun Sutanto. Pada tahun 1972, Pdt H.L. Senduk
memanggil anak rohaninya, Pdt S.J. Mesach dan Pdt Olly Mesach untuk membantu pelayanan
di GBI Jemaat Petamburan. Saat itu, Pdt S.J. Mesach telah menjadi Gembala
Sidang GBI Jemaat Sukabumi, yang telah dilayaninya sejak tahun 1963.
Pdt HL Senduk
berpulang ke Rumah Bapa pada tanggal 26 Februari 2008, setelah lebih dahulu ditinggal istrinya tercinta. Ia
meninggalkan visi 10000 gereja GBI bagi generasi berikutnya.
1. Pengakuan
Iman
Pengakuan
Iman Gereja Bethel Indonesia
Aku percaya bahwa:
Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Firman Allah yang
diilhamkan oleh Roh Kudus.
Allah yang Maha Esa itulah Allah Tritunggal yaitu Bapa, Anak dan Roh Kudus,
tiga Pribadi di dalam satu.
Yesus Kristus adalah anak Allah yang tunggal dilahirkan oleh perawan Maria
yang dinaungi oleh Roh Kudus, bahwa Yesus telah disalibkan, mati, dikuburkan
dan dibangkitkan pada hari yang ketiga dari antara orang mati, bahwa Ia telah
naik ke Surga dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa sebagai Tuhan, Juru Selamat
dan Pengatara kita.
Semua manusia sudah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah sehingga harus
bertobat dan berpaling kepada Allah untuk menerima pengampunan dosa.
Pembenaran dan kelahiran baru terjadi karena iman di dalam darah Yesus
Kristus yang dikerjakan oleh Roh Kudus.
Setiap orang yang bertobat harus dibaptis secara selam dalam Nama Bapa,
Anak dan Roh Kudus, yaitu dalam nama Tuhan Yesus Kristus.
Penyucian hidup adalah buah kelahiran baru karena percaya dalam darah Yesus
Kristus yang dikerjakan oleh kuasa Firman Allah dan Roh Kudus, karena itu
kesucian adalah asas dan prinsip hidup umat Kristen.
Baptisan Roh Kudus adalah karunia Tuhan untuk semua orang yang telah
disucikan hatinya; tanda awal baptisan Roh Kudus adalah berkata-kata dengan
bahasa roh sebagaimana diilhamkan oleh Roh Kudus.
yang kedua dan menerima hukuman selama-lamanya.
2. Badan
Pekerja Sinode
Kegiatan sehari-hari Sinode
dipimpin oleh "Badan Pekerja Harian" (BPH) yang terdiri atas Ketua
Umum dan beberapa ketua, Sekretaris Umum dan beberapa sekretaris, Bendahara
Umum dan beberapa bendahara, serta Ketua-Ketua Departemen.
Ketua Umum Sinode GBI untuk
periode kerja 2004-2012 adalah Pdt. DR. Jacob Nahuway, MA. Sekretaris Umum dijabat oleh Pdt. H. Ferry Haurissa Kakiay, STh., dan
Bendahara Umum dijabat oleh Pdt. Arjiwanto Tjokro.
Departemen-departemen yang
membantu dalam BPH adalah Departemen Theologia, Departemen Pendidikan,
Departemen Wanita, Departemen Pemuda dan Anak, Departemen Media dan Litbang,
Departemen Pekabaran Injil, Departemen Misi, Departemen Pelayanan Masyarakat,
Departemen Hukum dan Advokasi, Departemen Gereja dan Masyarakat, Departemen
Usaha dan Dana, dan Departemen Hubungan Luar Negeri.
3. Sekolah
Teologi
Untuk melengkapi pemahaman akan
Firman Tuhan, maka Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI mempunyai Lembaga
Pendidikan Theologi yang berada di Jakarta dengan nama Seminari Bethel. Seminari Bethel Jakarta terletak di Jl. Petamburan IV/5 Tanah Abang, Jakarta Pusat 10260,
Indonesia. Seminari Bethel Jakarta menaungi beberapa unit pendidikan, yaitu: 1.
Sekolah Penginjil (SP). Program Sertifikat, dengan lama studi 1 tahun) 2. Sekolah Menengah Teologi Kristen
(SMTK). Pendidikan yang setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). SMTK telah
mendapatkan status akreditasi dengan predikat A-Unggul dari Departemen Agama.
3. Institut Theologia dan Keguruan
Indonesia (ITKI). ITKI menyelenggarakan beberapa
program pendidikan dari Strata 1 (S1) sampai Strata 3 (S3). Program S1
menyelenggarakan program studi: Teologi, Pendidikan Agama Kristen, dan Misi.
Program S2 menyelenggarakan program: Master of Arts in Church Ministry (MACM)
dan Magister Theologi (M.Th) dengan program studi: Teologi, Pendidikan Agama
Kristen, dan Pastoral Konseling. Program S3 menyelenggarakan program studi:
Doctor of Ministry (D.Min) dengan program studi: Teologi, Pendidikan Agama
Kristen, dan Konseling Pastoral.
4. Sinode Baru
Seperti GBI yang merupakan sinode
yang lahir dari tubuh Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), maka dari tubuh Sinode GBI juga lahir beberapa sinode-sinode baru
yang memisahkan diri, di antaranya:
- Gereja Bethany Indonesia
- Gereja Mawar Sharon
- Gereja Tiberias Indonesia
- Gereja Berita Injil
5.Logo gereja bethel indonesia
Arti keseluruhan logo GBI adalah Gereja
Bethel Indonesia dipanggil untuk bersekutu dan memberitakan Injil ke
seluruh dunia dengan penuh semangat oleh kuasa Roh Kudus, pengorbanan dan
kesetiaan dalam kekudusan dan kebenaran untuk kemuliaan nama Tuhan Yesus
Kristus sebagai Kepala Gereja.
Langganan:
Postingan (Atom)